JAKARTA-Tingkat kemiskinan di Kabupaten Morowali mencapai 12,58 persen, sedangkan di Kabupaten Morowali Utara sebesar 12,97 persen. Lebih tinggi dibandingkan rata-rata kemiskinan di daerah kabupaten lain di Sulawesi Tengah yang hanya sebesar 12,33 persen.
Hal itu diungkapkan Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting menyebut, dari kajian mengenai dampak lingkungan hidup dan dampak sosial yang dilakukan di Halmahera, Morowali, dan Morowali Utara, hasilnya sama-sama menunjukkan temuan yang buruk.
“Berdasarkan kajian ekonomi, industri nikel ini tidak berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat di Morowali, Morowali Utara, maupun juga di Halmahera, khususnya di Weda Tengah,” kata Pius Ginting dalam diskusi yang digelar Forest Watch Indonesia (FWI), beberapa waktu lalu.
Dikutip dari Jawapos.com Radarsulteng.id group, AEER mencatat di Morowali misalnya, dari kegiatan ekonomi industri nikel, hanya 4,35 persen dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang tinggal atau dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Morowali. “Sebanyak 95 persen itu keluar,” kata Pius.
Kondisi serupa juga ditemukan di Morowali Utara. Hanya 15 persen dari nilai PDRB yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Sedangkan sebanyak 84 persen lainnya keluar. “Sehingga ini yang membuat angka kemiskinan di Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali Utara itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata angka kemiskinan kabupaten di Sulawesi Tengah,” lanjut Pius.
Di sisi lain, masyarakat di tiga wilayah kajian AEER harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi. Sungai yang tidak sehat memaksa mereka untuk membeli air bersih. Selain itu, angka ISPA juga tergolong tinggi sehingga menambah biaya kesehatan. Di Kecamatan Bahodopi misalnya, adanya kegiatan industri termasuk penggunaan PLTU captive yang menghasilkan PM 2.5 membuat angka ISPA di sana naik enam kali lipat.
“Jadi, penyakitnya sudah bertambah, biaya kesehatannya bertambah, tapi manfaat nikelnya lebih banyak keluar ketimbang tinggal di masing-masing sumber nikel ini,” imbuh Pius.
Mendapati temuan tersebut, Pius meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dan sosial masyarakat jika benar-benar ingin menjadi pemain nikel dunia dan pemasok baterai EV global. Pasalnya, perusahaan-perusahaan atau investor Eropa sangat concern pada masalah ini. Mereka cenderung memperhatikan stakeholder, tidak seperti, misalnya, investor atau perusahaan Inggris yang umumnya hanya mementingkan shareholder atau pemegang saham.
“Jadi, harus ada perbaikan lingkungan, perbaikan sosial, agar produk nickel battery yang diharapkan meluas pasarnya, bukan hanya untuk ke Tiongkok, tetapi juga ke Jerman dan Eropa itu bisa terwujud. Dengan perbaikan-perbaikan standar ini, termasuk dengan tidak melakukan penambangan di wilayah-wilayah yang ditolak oleh warga,” harap Pius.
Pada kesempatan sama, Koordinator JATAM Sulawesi Tengah (Sulteng) M. Taufik menyebut, aktivitas tambang khususnya nikel telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan berdampak pada rusaknya sumber-sumber ekonomi warga yang berdekatan dengan wilayah pertambangan, baik di Morowali, Banggai, maupun Morowali Utara. Di Morowali misalnya, ratusan hektare persawahan warga terdampak lumpur, diduga akibat penambangan nikel di wilayah hulu.
Penambangan nikel di wilayah hulu juga menyebabkan tercemarnya sumber pertanian warga, sehingga hasil panen masyarakat desa turun drastis. Selain sumber air bersih dan areal pertanian, limpasan ore nikel juga mencemari tambak-tambak warga, lantaran tempat penampungannya yang hanya berjarak 30 meter. Terakhir, aktivitas tambang Nikel juga berdampak terhadap budidaya rumput laut.
Kerusakan serupa juga terjadi di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Morowali Utara. Masyarakat Desa Pongian, Kab. Banggai yang masih berprofesi sebagai nelayan, musti was-was lantaran lumpur yang dihasilkan aktivitas tambang telah mencemari wilayah pesisir dan berpotensi menghilangkan sumber kehidupan masyarakat di pesisir. Di Morowali Utara, puluhan IUP yang beroperasi di wilayah pesisir telah membuat terumbu karang tercemar lumpur.
Sedangkan di wilayah kawasan industri nikel, kesehatan masyarakat sangat terancam oleh partikel-partikel fly ash dan bottom ash. “Ini juga berdampak serius bagi masyarakat di wilayah-wilayah kawasan industri yang kita tahu wilayah kawasan industri ini masih menggunakan PLTU energi fosil untuk memastikan produksi mereka,” tuturnya dalam diskusi bertajuk ‘Jejak Kotor Kendaraan Listrik: Derita Rakyat dan Kerusakan Lingkungan di Balik Ambisi Indonesia jadi Pemain Global EV’ tersebut.
Pengkampanye FWI Agung Ady menambahkan, dari berbagai pemantauan yang dilakukan di wilayah Maluku Utara dan beberapa wilayah, aktivitas tambang terbukti menimbulkan dampak kerusakan lingkungan seperti pencemaran sungai, deforestasi hutan dan lahan, serta hilangnya sumber-sumber ekonomi warga. Agung berharap pemerintah setempat tidak tutup mata dengan adanya kerusakan ekologi yang ditimbulkan aktivitas tambang, terlebih Indonesia berambisi menjadi pemain utama nikel atau EV battery dunia.(*)