Radarsulteng.id – Aktifitas Pertambangan tanpa izin (PETI) di Sulteng, khususnya di Kabupaten Parigi Moutong tepatnya di Desa Lobu Kec. Moutong dan di Lambunu Kec. Bolano Lambunu belakangan kian marak dan masif sebagaimana yang disuarakan oleh Aliansi Peduli Lingkungan Parigi Moutong (APLP) beberapa waktu terakhir, terutama saat APLP menggelar aksi di Polda Sulteng mendesak aparat Kepolisian untuk melakukan penertiban.
Dalam kesempatan tersebut Polda Sulteng menyampaikan apresiasi atas aspirasi yang disampaikan 6 orang perwakilan dari APLP sekaligus pada kesempatan itu Polda Sulteng menyampaikan komitmennya untuk melakukan Penertiban terhadap aktifitas PETI di Desa Lobu dan Lambunu.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulteng, Dedi Askary SH kepada media ini menjelaskan secara detail dugaan-dugaan APH dibalik mengguritanya PETI di Sulteng. Ironisnya, semua berebut ‘jatah’ (pembagian) dari Pemodal untuk mempermulus modus terstruktur di wilayah tersebut.
Katanya aktifitas PETI, diibaratkan seperti wilayah atau ruang abu-abu, dimana semua orang berebut bermain atau masuk di ruang itu, karena ada pemodalnya, ada pemilik alat bahkan ada pemilik lahan termasuk dalam hal ini pemilik izin atau konsesi, termasuk Aparat Penegak Hukum baik mulai dari Kepala Desa, Camat hingga Pejabat Pemerintahan di Kabupaten/Kota).
Dedi Askary yang pernah menjabat sebagai Deputy Directur Walhi Sulteng serta diketahui sebagai Pendiri sekaligus Direktur Eksekutif pertama Lembagga Pengembangan Study Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng mengatakan, fatalnya dalam praktek Pertambangan Tanpa Izin sebagaimana yang kembali marak di Lobu Moutong dan Lambunu, semua telah terkordinasi dengan baik. Ibarat ‘Kue Besar’ (Tambang Emas) dikelola terstruktur dan dinikmati APH bersama-sama.
Mulai dari pengerukan material hingga pengelolaan materi dari hasil pengerukan (produksi emas) dan bila belajar dari pengalaman Peti di Kayuboko, sedari awal sesungguhnya pihak yang memobilisasi atau setidak-tidaknya melakukan pengawalan alat untuk masuk lokasi, melakukan pemasangan atau pengawasan pemasangan alat yang menjaga, mengawasi serta mengatur atau mencatat retase pengangkutan material areal tersebut adalah APH itu sendiri.
Bahkan menurut Dedi, hingga alat berat siapa yang bisa masuk, berapa nominal per jam biaya itu adalah yang mengatur dan terlibat disitu adalah APH, bahkan semua sudah jelas misalnya hasil dari operasional ekskavator si A ada 3 unit rinciannya, 1 unit dari 3 yang masuk ke areal PETI Kayuboko itu hasilnya ke pejabat dari APH, ini ke level pimpinan menengah, ke Pejabat Kehutanan, Pejabat di Dinas Lingkungan hidup hingga para pejabat di Kantor Pemerintahan.
Aktivitas PETI Kayuboko sebutnya, yang jelas-jelas hasil dari pengeoperasian alat berat (unit eksa) diperuntukan pada salah satu pimpinan yang masuk kategori APH yang menjabat di wilayah itu, hitungan sewa ekskavator itu perjamnya 500 ribu rupiah dikali 24 jam, berarti 12 juta.
Selanjutnya 24 jam dikalikan tujuh lebih kurang seratus enam puluh delapan jam, seratus enam puluh delapan jam jika dikalikan lima ratus ribu, jumlahnya itu delapan puluh empat juta.
”Segitu yang diterima oleh Pejabat dari APH, bagaimana jikalau kalikan empat (empat minggu) ada tiga ratus empat puluh empat juta itu masuk ke petinggi atau Pejabat dari APH setempat, ya lebih-kurang segitulah,” ungkapnya.
”Itu baru satu item, belum BBM, merujuk pengalaman Kayuboko beberapa waktu lalu, untuk solar yang hendel penjualan dan yang menampung di kos warna-warni di dekat lokasi Peti Kayuboko dan menjual kembali ke pihak-pihak yang lakukan aktifitas pengerukan material juga anggota dari APH setempat,” sebutnya lagi.
Masih kata Dedi, BBM dengan harga ratus kali lipat per liternya, lebih jauh bahkan di areal rumah jabatan APH dijadikan tempat penampungan BBM jenis Solar, dan memobilisasi, mengawal pengangkutan adalah struktur kelembagaan dari APH yang berada pada tingkat Desa/Kelurahan yang melakukan semua itu.
”Malah kalau di Kayuboko beberapa waktu yang lalu, ada semacam pernyataan tertulis serta berapa nominal aliran dana kemana, itu ditanda-tangani pejabat sipil setempat ketika itu,” urianya.
Belum lagi, dump truck, itu ratusan dump truck yang beroperasi disana, berapa sewa per unit perjamnya dump truck dari pemilik ke pihak yang dipercaya mengurus itu, berapa ke pemilik lahan dan/atau ke pemodal yang melakukan aktivitas pengerukan atau yang melakukan penambangan (PETI).
Melakukan penambangan (emas, nikel, batubara) dan jenis lainnya, bukan hanya bicara soal pengerukan material dan soal penambangan yang tidak ber izin, tidak, ketika ada aktifitas penambangan dilakukan, itu sama dengan melakukan perubahan bentang alam, baik yang ber izin ataupun yang tidak.
Wilayah pertambangan, ada penyorobotan atau perambahan hutan, ada soal penggunaan dan perdagangan sianida, ada resiko banjir bandang ketika musim hujan, ada resiko kekeringan dan ancaman kekurangan sumber-sumber air bersih, karena penambangan tanpa izin, acap kali dilakukan disepadan akuran sungai, resiko terjadinya pencemaran dan rusaknya mata air bersih yang dikonsumsi masyarakat sangat besar.
Jadi dampaknya sangat kompleks dan luar biasa, jika penambangan dilakukan di wilayah yang ber izin atau kepemilikan konsesinya jelas, acap kali pemilik konsesi pura-pura tidak tahu di dalam wilayah konsesi mereka ada aktifitas penambangan, padahal sesungguhnya mereka tahu, melakukan aktifitas penambangan sudah pasti ada pengrusakan atau perambahan hutan entah di wilayah APL, HPT, HL.
”Mereka tidak pusing, karena semua pejabat lintas sektor tersebut, semua pihak baik perorangan maupun atas nama kelembagaan BERSAMA BERBONDONG-BONDONG berebut RENTE di sana,” kata Dedi.
Masih penuturan dari Komnas perwakilan Sulteng, jika dalam aktifitas penambangan tersebut dilakukan hingga masuk ke dalam kawasan Hutan Lindung misalnya, jangan dikira itu bukan sesuatu yang tidak disengaja atau sesuatu yang tidak direncanakan, karena ketidak tahuan hingga dimana batas masuk hutan lindung mana belum masuk hutan lindung, itu sesuatu yang disengaja, nanti kalau ada pihak yang melapor misalnya, semua nampak serius diproses, namun disisi lain hal tersebut dijadikan preseden dan yang terjadi selanjutnya adalah pengajuan revisi batas kawasan, atau usulan penciutan hutan lindung.
Hutan Tahura Kapopo misalnya kata Dedi, bisa cek ke lapangan luasnya yang tersisa sekarang dari luas ratusan hektar sebelumnya, sekarang ini, luas tahura tinggal lima hektar, jika tinggal lima hektar, ngapain buat kelembagaan atau satker sendiri hanya mengurus areal yang luasnya tinggal lima hektar, cukup melekat menjadi satu sub seksi di BKSDA atau kehutanan, berapa kerugian negara disana.
Lebih parah lagi di Bangkiriang jelas jenis hutan yang dibabat dan dirambah dan dirubah menjadi areal perkebunan sawit, ini nyata, kawasan tersebut adalah suaka margasatwa Bangkiriang, itu areal itu sebagaimana surat penetapannya sepertinya masi tetap sebagai suaka margasatwa Bangkiriang.
”Tapi coba cek di lapangan, itu semua sudah menjadi areal kebun sawit, perusahaan mana yang terlibat di situ, semua jelas, namun ketika dipersoalkan, yang ditetapkan menjadi tersangka oleh APH adalah masyarakat yang mempersoalkan areal tersebut yang melakukan perambahan dan pembabatan hutan kedalam kawasan suaka margasatwa itulah pada akhirnya menjalani proses hukum hingga ke Peradilan, bukan pihak yang melakukan kejahatan lingkungan itu yang diproses atau jalani proses hukum namun pihak lain yang mempersoalkan pelaku perambahan dan pembabatan hutan itu justru ditersangkakan,” kata Dedi.
Begitu pula sesungguhnya yang terjadi di Lobu dan Lambunu sekarang ini. Pertanyaannya kemudian masuk akal tidak bahwa PETI di dua titik tersebut baru diketahui saat pendemo itu datang? Ini sangat erat kaitannya dengan struktur kelembagaan dari institusi yang ada hingga level Desa/Kelurahan selain kelembagaan yang berada di tubuh Militer (Tentara, dalam hal ini babinsa) itu siapa? Jika demikian, kira-kira alasan baru mengetahui saat ada demo soal PETI tersebut?
Hal diatas dengan sendirinya sesungguhnya terjawab dari narasi-narasi pemberitaan yang disampaikan oleh para pejabat dari Institusi yang masuk pengelompokan APH, saat menyampaikan sudah melakukan pengecekan di lapangan, dinarasikan benar ada bekas aktifitas penambangan, namun semua tinggal bekasnya, termasuk kubangan dan alat berat yang rusak, namun pihak-pihak yang lakukan penambangan sudah tidak ada (areal sebagaimana yang diberitakan sudah kosong).
”Ya iyalah pasti yang tersisa bekas penambangan, areal pasti kosong karena sebelum turun, itu sudah ada penyampaian anggota yang menjabat pada struktur kelembagaan yang keberadaannya hingga di Desa/Kelurahan sebagaimana yang saya jelaskan diatas,” demikian tegas Dedi Askary. (lib)