PALU– Aksi penolakan warga terhadap kehadiran perusahaan tambang galian C yakni, PT. Bumi Alpha Mandiri dan PT Tambang Vatu Kalora di Desa Kalora, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, berbuntut panjang.
Salah satu dari dua perusahaan tambang diduga kuat menuntut balik kepada 14 warga Kalora dengan laporan dugaan tindakan fitnah dan dengan sengaja merusak kehormatan (pencemaran).
Diduga kuat pihak perusahaan yang dimaksud adalah PT Tambang Vatu Kalora, meski yang melaporkan atas nama pribadi yakni Aditya Arif. Pasalnya, setelah mendapatkan surat pemanggilan dari Polda Sulteng tertanggal 27 September 2024, alih-alih warga diperiksa di Ruang Riksa Unit 1 Subdit III/Jatanras Ditreskrimum seperti yang tertera di surat, warga justru digiring ke PT Tambang Vatu Kalora. Saat itu warga diberitahu bahwa proses itu adalah klarifikasi.
“Karena kemarin ketika ada sutrat panggilan, undangan dari Polda, kok mereka klarifikasinya di Perusahaan Kelor (PT Tambang Vatu Kalora, red), itu yang terjadi di sana. Makanya kita turun (demonstrasi),” ungkap Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kamalisi, Demus Paridjono kepada Radar Sulteng di depan pagar DPRD Sulteng, Selasa siang (12/11/2024).
Demus mengatakan, aksi demontrasi di Kantor Polda Sulteng dan DPRD Sulteng itu menuntut dua hal pokok. Pertama proses hokum terhadap 14 warga Kalora dihentikan. Kedua, izin perusahaan tambang dicabut.
Dia menjelaskan tuntutan itu penting karena telah terjadi kriminalisasi warga Kalora atas upaya penolakan kehadiran tambang di wilayah adat Kamalisi, yang juga masuk dalam DesaKalora. Padahal, warga menolak kehadiran tambang galian di wilayah itu dan khawatir terjadinya kerusakan lingkungan massif seperti yang telah terjadi di sepanjang Pesisir Palu-Donggala akibat aktivitas tambang Galian C.
Sebelumnya, penolakan keras juga dilakukan oleh warga Kelurahan Tipo, Kota Palu karena masuk lokasi tambang berada dalam batas wilayah antara Kalora dan Tipo.
Olehnya, pihak AMAN Kamalisi dan para pihak yang tergabun gdalam Front Kamalisi Mengugat meminta adanya keadilan terhadap ke-14 warga Kalora tersebut. “Ini berawal mungkin mereka menolak aktivitas tambang. Nah dengan penolakan ini ada tangapan dari perusahaan bahwa mereka dianggap memfitnah dan lain sebagainya. Salah satunya karena aktif dalam melakukan penolakan. Polda katakan ini masih statusnya klarifikasi, masih saksi tahap penyelidikan, tapi AMAN tetap mendampingi masyarakat,” tegasDemus.
Diperiksa di Perusahaan
Berdasarkan rilis kronologi yang diterima oleh Radar Sulteng dari Front Kamalisi Menggugat disebutkan bahwa pelaporan pencemaran nama baik itu diduga kuat terkait reaksi penolakan warga Kalora atas kehadiran PT Tambang Vatu Kalora, yang dianggap menipu masyarakat dengan dalih Perusahaan Kelor.
Awalnya warga mengungkapkan pihak PT Tambang Vatu Kalora masuk ke DesaKalora dan membeli tanah dengan identitas sebagai pabrik kelor dan kebun binatang. Namun seiring berjalannya waktu perusahan memperluas lahan dengan cara membeli tanah.
Dalam pertemuan audiensi dengan Gubernur Sulteng bersama Walikota Palu serta warga Tipo pada 22 September 2024, Kepala Desa Kalora, Kecamatan Kinovaro, mengaku kaget ada informasi perusahan tambang masuk di Desa Kalora dan melakukan pengumpulan KTP warga oleh oknum dengan iming-iming uang agar menerima perusahaan itu beroperasi.
Setelahnya, pihak pemerintah Desa pun meminta pihak perusahaan untuk melakukan klarifikasi namun tidak datang. Di satu pihak, warga kemudian merespons kehadiran perusahaan tambang dengan membuat surat berisi penolakan dan disebarkan kesemua dusun untuk ditandatangi warga dan mengirimkan surat tembusan keperusahaan.
Diduga kuat, setelah aksi tersebut, muncul laporan dugaan pencemaran nama baik yang di alamatkan kepada 14 warga Kalora. Mereka kemudian diperiksa dengan sebutan klarifikasi di perusahaan. Warga kemudian takut dan tertekan sehingga tidak mau menghadiri pemanggilan kedua oleh pihak kepolisan
“Hentikan kriminalisasi terhadap warga Kalora. Karena ini adalah masyarakat adat Kamalisi, kami menginginkan bahwa mereka bebas dari tuduhan ini dan mereka hanya memperjuangkan hidup mereka, hidup keseharian mereka. Mereka bertani, ketika mereka bertani kalau lahan mereka diambil dan ada perusahaan yang beroperasi di situ, tentunya mempersempit kehidupan warga ditempat itu, olehnya kami menginginkan bahwa izin tambang itu harus dicabut,” tegas Demus.
Sampai berita diterbitkan redaksi belum mendapatkan konfirmasi dari pihak perusahaan. (uq)