PALU — Beberapa minggu terakhir Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) terus melengkapi bahan, data dan keterangan sebelum memperkarakan kasus dugaan korupsi dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sulteng.
Pada Selasa (11/7) baru-baru ini, giliran Ketua Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (KORMI) Sulteng, Syaifullah Djafar dimintai keterangan oleh penyelidik Kejati. Kabarnya ia dimintai klarifikasi ihwal pergeseran anggaran tahun 2022 di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora). Pertemuan dirinya dengan penyelidik tersebut sebatas permintaan keterangan secara dialog. “Kalau Kejati memerlukan dokumen-dokumen tentunya akan kami serahkan,” paparnya.
Ia merinci pada tahun 2022 terjadi pergeseran pagu anggaran yang semula sebesar Rp 9 miliar untuk KONI menjadi Rp 7,5 miliar dan Rp 1,5 miliar untuk KORMI. Dana Rp 1,5 miliar itu digunakan untuk keperluan Fornas Sumatera Selatan tahun 2022. “Iya betul, tapi baru klarifikasi, mengenai pergeseran anggaran tahun 2022 di Dispora,” jelasnya kepada media ini, Rabu (12/7) sekira pukul 17.51 WITA sore kemarin.
Soal pergeseran itu merupakan domain Dispora, dirinya tegas menyebut bahwa KONI dan KORMI memiliki anggaran sendiri dan mencairkannya secara terpisah melalui Dispora sesuai dengan pagu anggaran masing-masing juga mempertanggung jawabkannya secara terpisah.
Sementara itu, Kepala Kejati Sulteng Agus Salim melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) kejati Sulteng, Mohammad Ronald membenarkan hal itu, bahwa pemanggilan Ketua KORMI Sulteng ini bertalian dengan pengumpulan bahan, data dan keterangan (Pulbaket) kasus dugaan korupsi dana hibah yang kini membelit KONI Sulteng.
Total sekitar Rp 23 miliar nilai anggaran yang tengah diendus pertanggungjawabannya oleh pihak kejaksaan. Sekitar Rp 14-15 miliar diperuntukkan bagi keperluan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX di Papua tahun 2021 lalu, sementara sisanya disebut mengalir untuk kegiatan pembinaan.
Sebelum Syaifullah Djafar, Ketua KONI Sulteng M Nizar Rahmatu dan Sahdon Lawira selaku Koordinator Wilayah Poso-Ampana yang lebih dulu memenuhi panggilan penyelidik bersama belasan petinggi KONI lainnya, disusul Kepala Dispora Sulteng Irvan Aryanto yang sudah empat kali bolak-balik memberikan keterangan kepada Korps Adhyaksa Sulteng.
Ketua KORMI Sulteng, Saifullah Djafar, yang dikonfirmasi kemarin, menjelaskan, kehadirannya di Kejati Sulteng hanyalah dimintai keterangan tentang pergeseran anggaran yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov).
“Kemarin itu saya diminta keterangan, baru sekadar permintaan klarifiasi, mengenai Pergeseran anggaran yang dilakuan oleh Pemprov Sulteng (Dispora), dari anggaran KONI ke KORMI. Jadi anggaran yang semula dialokasikan untuk KONI Rp 9 miliar, digeser sebesar Rp 1,5 miliar ke KORMI. Sehingga anggarannya menjadi Rp 7,5 untuk KONI dan Rp 1,5 miliar ke KORMI, “ terangnya.
Syaifullah juga membantah bahwa Rp 1,5 miliar murni dialokasikan untuk KORMI. “ Jadi bukan uang KONI yang mengalir ke KORMI,” tegasnya.
Dikatakannya, mengenai pergeseran anggaran itu domain Pemprov, bukan KONI atau KORMI yang menggeser. Karena bukan KONI yang menyerahkan dana ke KORMI, atau sebaliknya bukan KORMI menerima dana dari KONI.
“Pergeseran itu dilakukan di DPA Dispora Pemprov Sulteng, dan merupakan pagu anggaran baru untuk KONI dan KORMI, masing-masing menjadi Rp 7,5 miliar dan Rp 1,5 miliar. Selanjutnya, setelah pergeseran anggaran masing-masing, KONI dan KORMI mendapatkan pagu anggaran baru, untuk digunakan masing-masing melalui Dispora, baik oleh KONI maupun oleh KORMI secara terpisah, “bebernya.
Sebelumnya Kepala Dinas (Kadis) Pemuda dan Olahraga (Dispora) Sulteng, Irvan Aryanto menjalani pemeriksaan ketiga kalinya di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng Rabu lalu (05/07/2023).
Kadispora Irvan memenuhi panggilan tim penyidik Aspidsus Kejati Sulteng sejak pukul 09.00 Wita, hingga pukul 17.03 Wita masih menjalani pemeriksaan.
Sementara itu, Ketua Umum KONI Sulteng Moh. Nizar Rahnatu juga sudah dua kali memenuhi panggilan penyidik Kejati untuk dimintai keterangannya.
Untuk diketahui berdasarkan data yang dihimpun oleh Indonesia Corruption Watch, sejak 2010 hingga 2019, paling tidak ada 78 kasus korupsi di sektor olahraga. Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 865 miliar dan nilai suap sebesar Rp 37,6 miliar.
Jika merujuk pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan hasil pemeriksaan baik di tingkat pusat maupun daerah atas penggunaan dana hibah keolahragaan, setidaknya ada 3 hal yang selalu menjadi temuan.
Pertama, seringkali tidak ada proses evaluasi/penilaian atas kelayakan usulan hibah yang disampaikan ke pemberi hibah. Biasanya hal ini diikuti juga dengan praktik suap dari calon penerima hibah agar mendapatkan alokasi. Pada akhirnya, penerima hibah ditetapkan berdasarkan kedekatan dan siapa yang bisa memberikan keuntungan bagi pemberi hibah.
Kedua, penggunaan dana hibah tidak tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan bukti yang lengkap. Biasanya bukti yang diberikan hanya berupa kuitansi tanpa dilengkapi dokumen pendukung lainnya.
Ketiga, penggunaan dana hibah tidak sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) penggunaan dana hibah yang sudah ditetapkan sebelumnya. (ril/mch)