Radar Sulteng berkesempatan mengikuti tiga orang dengan disabilitas (ODD) mencoblos di TPS. Bukan sembarang orang, ketiganya adalah pemimpin organisasi ODD di provinsi ini. Bagaimana kesan mereka setelah menyalurkan hak politik mereka? Apakah kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan baik?
LAPORAN: Nur Soima Ulfa
PAGI itu sekitar pukul 07.30 WITA pada 27 November 2024, saya bertukar pesan whatsapp (WA) kepada Siddiek (35). Dia adalah Ketua DPD Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sulawesi Tengah. Saya bertanya kepastian waktu dirinya ke TPS 02 Kelurahan Baru.
Dia pun membalas “Saya OTW TPS,” tepat pukul 08.45 WITA. Saya pun bergegas ke Jalan KH. Wahid Hasyim, tempat di mana Siddiek terdaftar sebagai pemilih. Sesampainya di sana Siddiek berjalan dengan tongkatnya menghampiri saya tidak jauh dari pintu TPS. Kami pun saling menyapa.
Tapi sebelum kami berbincang, satu petugas KPPS laki-laki dengan topi terbalik dengan ramah menyapa Siddiek dan bertanya. Dia pun menjawab menunggu temannya yang datang khusus meliput dirinya, untuk melihat bagaimana teman disabilitas mencoblos di TPS pagi itu.
Petugas itu pun langsung sigap menuntun Siddiek masuk ke dalam TPS. Menuntunnya dengan hati-hati masuk melewati area pagar. Di sana petugas KPPS perempuan langsung menghampiri mereka dan mengintruksikan kepada rekannya agar memprioritaskan Siddiek, sekaligus menjadi pendamping baginya.
Di depan meja register, Siddiek pun diminta menunggu sebentar karena ada warga pemilih lainnya yang antri mendaftar. Dengan sabar, Siddiek berdiri ikut mengantri dengan tongkatnya, namun tidak begitu lama. Tidak sampai lima menit, petugas laki-laki yang mendampingi Siddiek menuntunnya ke meja registrasi.
Di tempat ini Siddiek mengeluarkan KTP dari tas pinggangnya. Si petugas pendamping tadi tetap stand by di sampingnya. Ketika Siddiek harus bertanda tangan, pendampingnya ini dengan sigap menuntun tangannya.
Setelah itu Siddiek mendapatkan dua surat suara dan satu template braille. Templet ini dibutuhkannya agar bisa memilih dengan kerahasiaan penuh. Tidak perlu khawatir pilihannya akan diketahui pendamping.
Usai mendapatkan dua surat suara dan satu template, Siddiek dituntun ke kursi. Menunggu giliran dipanggil. Namun tidak sampai lima menit duduk, namanya pun dipanggil ke bilik suara.
Petugas pendamping tadi bersama Siddiek menuju bilik suara. Seorang petugas perempuan pengawas dari Bawaslu, meminta agar pendamping tidak masuk ke bilik suara bersama Siddiek. Namun bisa membantunya dari samping bilik. Khususnya, ketika membuka surat suara dan butuh dimasukan ke dalam template. Sementara melipat kertas suara, dilakukan sendiri oleh Siddiek.
Setelah dari bilik suara, Siddiek pun dituntun ke kotak suara. Memasukan surat suara sendiri setelah dituntun dimana lubang kotak. Usai dari itu, Siddiek pun dibantu hingga keluar dari pagar TPS.
Bila ditotalkan, saat itu Siddiek hanya butuh waktu paling lama 10 menit untuk melakukan pencoblosan suarat suara. Sangat terlihat Siddiek diperlakukan prioritas dari warga pemilih lainnya.
Untuk perlakukan istimewa ini ditanggapi dengan reaksi senang oleh Siddiek, karena selama proses pencoblosan dirinya didampingi dengan baik oleh petugas dan diberikan templet braille sehingga dia bisa memilih dengan aman dan tetap rahasia.
Meskipun sejatinya dia merasa agak tidak enak karena dengan warga pemilih lainnya. Pasalnya, dia tidak harus ikut mengantri lama, khawatir mengambil hak orang lain. Sebab menurutnya, dia bisa saja menunggu giliran seperti pemilih lainnya secara natural. Berbeda dengan teman disabilitas mental yang tidak tahan menunggu lama.
Tapi, atas kemudahan yang diberikan dirinya tetap berterima kasih dan mengapresiasi kinerja KPPS. “Dari pemilu ke pemilu dari Pilkada ke Pilkada, memang untuk pada tahap kepengurusan di KPU terus bagaimana sosialisasi terhadap penyandang disabilitas itu memang ada perkembangan. Tapi ternyata sulit berkembang di tingkat di ekesekutor, masih agak panik. Padahal sebenarnya ada petunjuk teknisnya,” ungkap Siddiek, yang mengaku sudah memilih sejak 2009.
Setelah bersama dengan Siddiek, saya pun lanjut ke TPS 02 Besusu Tengah. Di Lorong Ikan Mas, Jalan S Parman, Ketua DPD Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulawesi Tengah, M. Yusuf telah menunggu.
Sekitar pukul 10.04 WITA kami bertemu di depan TPS dan langsung masuk ke halaman TPS. Di tempat ini Yusuf menyempatkan diri menyapa warga di sekitar TPS. Sepertinya, dia sudah sangat familiar di lingkungan itu.
Usai salam-salaman, Yusuf mengantri di depan pintu TPS. Ada sekitar dua warga di depannya mengantri di depan meja register. Sempat berdiri menunggu, satu petugas datang mempersilahkan Yusuf untuk duduk di bangku.
Setelah gilirannya, Yusuf menyerakan KTP dan langsung diarahkan petugas ke meja lain mengambil surat suara. Setelah itu, Yusuf diminta memasuki bilik suara. Tidak sampai 5 menit di bilik suara, Yusuf langsung menuju ke kotak suara dan memasukannya. Dari itu, dia menuju ke meja tinta untuk mencelupkan kelinkingnya.
Dari proses itu, sepertinya Yusuf lebih menghabiskan waktu lebih cepat ketimbang Siddiek. “Alhamdullilah tadi itu seperti pelayanan satu kali jalan saja. Tidak perlu lagi disuruh menunggu dan aksesnya juga mudah. Tidak ada hambatan,” ungkapnya.
Yusuf dengan ketunaan daksa, memang memerlukan lokasi TPS yang tidak bertangga. Kontur TPS yang landai dan tanpa halangan berarti, memudahkannya untuk bergerak. Dia pun memuji KPU yang sudah lebih baik menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada dari tahun ke tahun.
Menurut Yusuf, sudah ada kesadaran yang jauh lebih baik untuk memberikan akses kemudahan bagi orang dengan disabilitas. Meski pun tidak dapat dipungkiri masih ada peristiwa yang berkenaan dengan Pilkada.
Misalnya, di pagi itu sebelum mencoblos, Yusuf masih harus mengurus pengusiran satu orang dengan disabilitas tunanetra. Dia diusir oleh ketua RT dan tidak diperbolehkan untuk mencoblos di TPS. Meskipun terdaftar bersama satu keluarganya.
Alasan pengusiran menurut Yusuf dikarenakan ketua RT bersikukuh, orang dengan disabilitas tunanetra ini telah pindah domisili. Namun, setelah ditangani dan berkoordinasi dengan KPU, maka permasalahan itu bisa diselesaikan.
Sekitar pukul 10.30, sebuah pesan dari Kusmiran, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HDWI) Kota Palu masuk ke aplikasi WA saya. Dia mengabarkan telah menuju ke TPS 02 Kelurahan Tavanjuka bersama ibundanya. Saya pun bergegas ke lokasi.
Sesampainya di sana, saya menemukan Kusmiran duduk bersama skitar 25 warga pemilih lainnya. Mereka sama-sama mengantri. Menunggu nama dipanggil untuk masuk ke TPS dan memilih.
Kusmiran pun menyapa saya dan memberitahukan bahwa dia sedang menunggu surat DPT-nya dari petugas kelurahan. Setelah menunggu sekitar 10 menitan, petugas perempuan datang membawa secarik kertas putih.
Dia kemudian berbincang sebentar dengan Kusmiran dan masuk ke arah TPS. Sebelum pergi, Kusmiran mengingatkan si petugas bahwa dirinya datang bersama ibunya. Belakangan, Kusmiran mengaku dirinya sempat pindah rumah, namun dibantu dengan kemudahan oleh petugas kelurahan.
Dari itu, Kusmiran menunggu sekitar 30 menit untuk mendapat giliran memilih. Setelah namanya keluar dari pengeras suara, Kusmiran berjalan dibantu krunya memasuki TPS.
Di tempat ini Kusmiran menghadapi situasi yang sama dengan Yusuf. Dirinya sekali jalan dari satu meja ke meja lain, masuk ke bilik, memasukan kertas suara ke kotak, dan berakhir di meja tinta. Semuanya berjalan sekitar 5-10 menit saja tanpa menunggu atau bolak-balik.
“Petugasnya juga sepertinya sudah mengerti kita disabilitas, jadi mereka bilang nanti kita saja yang daftarkan. Kalo lalu (Pilkada sebelumnya, red) kami sendiri datang ke kelurahan terus ke rumah ketau KPPS-nya. Semua serba sendiri. Kalau sekarang tidak lagi, semua petugas yang bantu uruskan,” terang Kusmiran.(**)