Site icon Radar Sulteng

Anak Yatim Piatu Menggugat, Dua Kali Dikalahkan

Marzuki Sakung (FOTO : ISTIMEWA/RADAR SULTENG)

Mengetuk Nurani Hakim dan Kuasa Hukum

PALU-Juru bicara keluarga Nur Muslimah A. Nurhadi, Marzuki Sakkung, kepada media ini, Selasa (05/03/2024), menjelaskan sebuah perkara hukum waris, sebagai penggugat hak atas tanah (objek sengketa) di Jln. Maleo Kelurahan Lasoani, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu. Dua kali menggugat, mereka/pihaknya kalah.

Diterangkan Marzuki, sebagai anak yatim, Nur Muslimah tiga bersaudara, dimana dua adiknya bernama Moh Syarif Kamil A. Nurhadi dan Shafa Salsabila A. Nurhadi masih dibawah umur berperkara sebagai penggugat. Mereka menggunakan jasa hukum pengacara H. Muhtar, SH, dkk. Berdasarkan surat kuasa yang ditandatangani pada 22 Januari 2024.

Menggugat Muli Muh. Saleh, warga Jln. Maleo Atas, Kelurahan Lasoani, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Sebagai tergugat.

Penggugat mengajukan gugatan waris dari almarhum Sulle bin Tone, sebagai pewaris, dengan alasan atau dalil-dalil, bahwa Fatima Labeddu dan perwaris adalah pasangan suami isteri yang menikah pada 1973. Dari pernikahan tersebut dikaruniai satu orang anak bernama Musdahlia Sulle.

Pada tahun 1983, pewaris menikah dengan seorang wanita yang bernama Muli Muh. Saleh (tergugat) namun tidak dikaruniai anak. Selanjutnya Musdahlia Sulle menikah dengan Ahmad Nurhadi Salama Mahmuda, pada Senin 25 Februari 2002, dan mempunyai anak yaitu Nur Muslimah, Moh. Syarif Kamil, dan Shafa Salsabila A. Nurhadi.

Namun kedua orang tua mereka ini, yang sebenarnya pewaris telah meninggal dunia. Ahmad Nurhadi meninggal pada 27 Oktober 2017, dan Musdaliha Sulle juga meninggal dunia psda 8 September 2023. Begitu juga pewarisnya, Sulle bin Tone meninggal dunia pada 8 Agustus 2023. Sehingga anak-anak mereka, yakni Nur Muslimah, Moh Syarif Kamil, dan Shafa Salsabila kini menjadi yatim piatu.

Pewaris (Sulle Bin Tone), semasa hidup pekerjaannya adalah tukang kayu dan memiliki harta berupa dua petak sawah di Kabupaten Sinjai, yang merupakan sompa (mohar perkawinan) saat pewaris menikah nenek ketiga anak yatim ini, yaitu Fatimah Labeddu, saat menikah pada tahun 1973 yang lalu.

Kemudian satu unit rumah di Jln Dr. Sotomo Palu, yang telah dijual pewaris tahun 1984. Sebidang tanah di Kelurahan Kabonena, Palu Barat. Sebidang tanah di Jalan. Maleo, Kelurahan Lasoani, Kota Palu. Di atas tanah bersertifikat ini berdiri tiga unit rumah, namun telah dikontrakan oleh tergugat kepada orang lain. Satu unit rumah yang dikuasai tergugat telah dijual tergugat, serta tujuh petak kos-kosan telah dijual oleh tergugat.

Harta warisan peninggalan pewaris yang tersisa hanyalah rumah induk, namun dikontrakan tergugat kepada orang lain yang terletak di Jalan Maleo, bersama empat kos-kosan.

Diterangkan Marzuki, mengutip gugatan dari kuasa hukum H. Muhtar, SH, bahwa penggugat mengajukan gugatan ahli waris sekaligus pembagian harta warisan peninggalan pewaris. Bahwa, semasa hidupnya hingga akhir hayatnya pewaris tidak pernah memberitahukan kepada penggugat mengenai harta miliknya tersebut yang telah dikuasai/dimiliki tergugat.

Dijelaskannya lagi, bahwa setelah pewaris meninggal dunia, maka seluruh harta warisan tersebut di atas merupakan harta warisan yang belum pernah dibagi. Oleh karena pewaris yang semasa hidupnya hingga akhir hayatnya mempunyai satu orang anak, maka penggugat sebagai cucu yang merupakan anak dari anak kandung pewaris yang telah meninggal dunia dan secara kewarisan mempunyai hak sebagai ahli waris pengganti terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.

Bahwa penggugat telah beberapa kali berupaya menemui tergugat untuk meminta agar warisan tersebut ditetapkan penetapan ahli waris, dan ingin dijual serta dibagi ke ahli warisnya. Namun tergugat tetap bersikeras menolak harta warisan peninggalan pewaris untuk dijual atau dibagi kepada para ahli waris maupun ahli waris pengganti.

Dikarenakan terjadi sengketa/perselisihan sebagaimana dalil posita tersebut di atas, maka penggugat memohon kepada Pengadilan Agama Palu agar terhadap harta peninggalan almarhum Sulle Tone untuk menetapkan bagian-bagian ahli waris secara faraid.

Bahwa apabila, bagian dari para ahli waris terhadap harta peninggalan almarhum Sulle Tone secara faraid tidak dapat dibagi secara natura maka terhadap harta tersebut dilakukan lelang atau dijual dengan bantuan Pengadilan maupun Kantor Lelang Negara atas biaya yang ditanggung tergugat yang hasilnya akan dibagi berdasarkan faraid.

Dalam perjalanannya kasus ini di Pengadilan Agama Palu, dengan register nomor 908/Pdt.G/2023/PA.Pal tanggal 13 November 2023. Majelis hakim telah menasehati para penggugat/kuasa hukumnya agar kembali rukun dan mengurungkan niatnya untuk menggugat warisan, karena penggugat I bukan ahli waris dari pewaris karena sudah cerai sebelum pewaris meninggal dunia.

Setelah diberikan nasehat oleh majelis hakim, menurut risalah hakim para penggugat mengerti dan kuasa hukum mencabut gugatannya. Karena kuasa hukum telah mencabut gugatannya maka gugatan tidak dilanjutkan lagi.

Kepada media ini, menyikapi putusan hakim, sebagai juru bicara keluarga Marzuki Sakung mempertanyakan keputusan hakim yang tidak melanjutkan perkara ini, juga mempertanyakan sikap Penasehat Hukum Penggugat, H. Muhtar, SH, yang menyatakan mencabut gugatan, padahal menurut Marzuki, tidak pernah Kuasa Hukum H. Muhtar, SH, melakukan konsultasi dengan pihak Penggugat dan keluarganya terlebih dahulu.

“Tanggal 4 putusan, tetapi nanti tanggal 5 baru dia beri tau kami. Harusnya sebagai penasehat hukum pak Haji Muhtar memberi tahukan kepada kami perkembangan kasus ini, sudah sejauh mana. Dan, kira-kira apa yang akan diputus oleh hakim, ” kata Marzuki.

“Kami mempertanyakan mengapa Kuasa Hukum bapak H. Muhtar, SH, mencabut gugatan perkara ini tanpa melakukan konsultasi dengan Penggugat. Apalagi pak Muhtar bilang dia dalam posisi di perkara ini adalah netral. Kami juga mempertanyakan itu kepada pak Haji Muhtar mengapa bersikap aneh seperti itu. Harusnya dia memihak kepada kliennya yaitu Penggugat, “ kata Marzuki.

Dikonfirmasi kepada Haji Muhtar, SH, dia mengatakan dirinya menangani kasus ini, dengan upaya untuk damai dengan Haji Muli. Warisan yang jadi objek sengketa menurut dia adalah harta milik ibunya penggugat. Namun ibunya sudah meninggal.

“Harta yang mau dibagi itu, adalah harta bersama Sulle Tone dengan Haji Muli. Nah, Haji Muli katanya mau berdamai, dengan memberikan 3 petak rumah, ” kata Haji Muhtar.

Menurut Haji Muhtar, kalau mengambil rumah 3 petak itu justru pintu masuk untuk dapatkan harta tersebut. Mengenai kata netral, menurut haji Muhtar itu sikap yang dia ambil dalam rangka perdamaian. Karena yang dipermasalahkan bukan hartanya H. Muhtar. Jadi, dia tidak mau memihak.

“Itu urusan penggugat dengan tergugat, bagaimana bagi-baginya, ” ucapnya.

Dijelaskan Muhtar lagi, mengenai mengapa nanti tanggal 5 memberitahukan putusan pengadilan, karena saat tanggal 4 ada penggugat Nur Muslimah duduk sama-sama Haji Muhtar di ruang sidang pengadilan mendengarkan amar putusan hakim.

Menanggapi pernyataan H. Muhtar, SH, juru bicara keluarga Marzuki Sakung mengatakan bahwa upaya damai yang dia lakukukan tanpa ada musyawarah dengan kliennya.

“Itu benar, tapi mereka (anak yatim piatu) adalah ahli waris pengganti ibunya di surat-suratnya Haji Muhtar tau itu. Salah itu. Sebab, harta yang dibagi adalah harta bawaan sebelum pewaris menikah dengan Muli, dan kita sudah sampaikan ke pengacara kita ada saksi-saksi yang dibutuhkan dalam persidangan, “ terang Marzuki.

Dikatakan Marzuki, Hj. Muli mau berdamai tetapi penggugat tidak mau karena penggugat mengajukan wasiat dr Pewaris, namun sayangnya Haji Muli tidak mau. Padahal penggugat berharap mediasi yang melegakan karena menyangkut roh dari pewaris yang menurut ulama sampai hari ini masih menggantung, dan penggugat sudah menyampaikan ke Lawyer bahwa apabila kasus ini sampai pada pokok perkara diputuskan oleh hakim dengan putusan faraid penggugat tidak serta merta mengambil hak-haknya. Mereka (Penggugat) hanya berharap adanya kepastian hukum.

“Sebab, kalau ini tidak dilakukan penggugat, akan terjadi upaya menjual sedikit-sedikit harta tersebut. Kenapa pernyataan itu dilontarkan ke kita sebgai klien. Indikasi ini bagi kami sebuah pelanggaran, karena bagaimanapun seorang pengacara harusnya berpihak kepada kliennya. Apalagi, di setiap proses persidangan pengacara (Lawyer) tidak pernah menyampaikan ke kita apa saja yang dibutuhkan, misalnya surat-surat tambahan saksi, dll, ” papar Marzuki.(mch)

Exit mobile version