MORUT – Management PT Mulia Pasific Resources (MPR) akhirnya sepakat menghentikan aktivitas penambangan Nikel yang membahayakan dan mengancam pemukiman masyarakat Kota Kolonodale, Morowali Utara.
Desakan penghentian penambangan terhadap PT MPR memuncak pada rapat dengar pendapat yang berlangsung di Ruang Rapat Komisi I DPRD Morowali Utara, Selasa (11/4) pagi hingga sore kemarin.
Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua II DPRD Morut Muhammad Safri ini untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat Kolonodale dan sekitarnya, terkait dampak lingkungan yang diduga timbul akibat aktifitas pertambangan PT MPR yang menyembabkan banjir disertai lumpur beberapa waktu lalu.
Ketua II didampingi Ketua Komisi I Melky Tangkidi, Ketua Komisi III Iktiarsyah, serta dua anggota Komisi III Usman Ukas dan Asral Lawahe. Turut hadir Kepala Dinas Lingkungan Hidup Morut Syarifuddin, Plt Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Delfia Parenta, pihak pemerintah terkait lainnya, tokoh masyarakat, Kapolsek Petasia Ipda Paisal, DPC POSPERA, Aliansi Masyarakat Kolonodale, Pemuda Peduli Morut dan KPA Anak Alam Morut.
Pertemuan yang berlangsung sekira lima jam ini beberapa kali memanas. Muhammad Safri bahkan berkali-kali menghantam meja menggunakan palu sidang. Ia yang geram menyebut PT MPR sengaja melanggar hasil kesepakatan rapat dengar pendapat 22 Januari 2019.
Dalam rapat dengar pendapat tersebut tertuang tujuh poin kesepakatan. Poin pertama yang memicu emosi Safri. Isinya menyebutkan menghentikan aktifitas kegitan penambangan yang dilakukan oleh PT MPR di wilayah Kelurahan Bahontula.
“PT MPR jelas tidak taat. Buktinya mereka melanggar kesepakatan RDP pada 2019,” tegas Safri.
Selain itu, Safri kembali emosi setelah mengetahui ada kesepakatan lain yang terjadi antara PT MPR dengan perwakilan masyarakat Adat Bahontula. Menurut dia, DPRD telah dijadikan wadah untuk memuluskan kepentingan sekelompok orang.
“Etikanya kalau ada kesepakatan baru harus sepengatahuan kita, karena sebelumnya sudah kesepakatan yang kita buat bersama di gadung DPRD ini,” ujarnya.
Humas PT MPR Nico Herman Liku saat itu menjelaskan beberapa poin kesepakatan antara perusahaan dengan perwakilan masyarakat adat Bahontula, 12 Maret 2019, antara lain adalah kompensasi sebesar Rp 420 juta yang dibayarkan awal sebanyak Rp 125 juta, sisanya dibayarkan bertahap serta bantuan pembuatan empat titik sumur bor senilai Rp 45,7 juta.
“Masyarakat adat Kelurahan Bahontula memberikan akses dan tidak akan menghalangi kegiatan operasi penambangan perusahaan namun tidak termasuk di wilayah gunung Tondu dan sesuai kesepakatan di DPRD serta selama memenuhi kaidah pertambangan,” tambah Nico Liku.
Raymond Monsangi, yang ikut menandatangani kesepakatan sebagaimana diuraikan Humas MPR mengakui adanya dana dari PT MPR. Menurut dia, dana tersebut merupakan ganti rugi atas pengelolaan tambang MPR.
Terkait akses kepada MPR untuk melanjutkan penambangan, Raymond menegaskan lahan yang boleh diolan MPR berada di luar wilayah adat masyarakat Bahontula.
“Kesepakatan kami dengan PT MPR bukan untuk membatalkan kesepakan yang dibuat bersama DPRD,” tandas Raymond.
Sementara itu terkait banjir berlumpur, KPA Anak Alam Morut menguak hasil investigasi di titik-titik penambangan yang diduga menjadi sumber banjir. Sejumlah foto dan video sangat jelas menampilkan aktifitas perusahaan tersebut.
Fakta lapangan yang dilaporkan KPA Anak Alam itu kemudian diakui Kepala Tehnik Tambang (KTT) PT MPR Ajib Wangko Santoso sebagai lokasi yang dikerjakan MPR.
“Benar ini lokasi kami berada di Blok 2C2,” ujarnya.
Namun Ajib Santoso tidak mengakui jika asal banjir yang mengalir ke Kota Kolonodale beberapa waktu berawal dari lokasi MPR.
“Selama kami melakukan investigasi di lapangan kami tidak menemukan ada yang jebol,” katanya.
Meski pihak MPR terus membela diri, namun Muhammad Safri kembali mengatakan perusahaan ini sudah melanggar kesepakatannya sendiri.
Beberapa saat kemudian pertemuan ini menghasilkan tiga poin kesepakatan. Pertama, menyepakati dihentikan aktivitas penambangan PT MPR yang membahayakan dan mengancam pemukiman masyarakat Kota Kolonodale.
Poin kedua, pihak perusahaan wajib melakukan reklamasi/penanaman kembali di lokasi yang telah berdampak pada kerusakan lingkungan, pembuatan cek dam tanggul penutup yang pelaksanaannya diawasi oleh DPRD dan Instansi Pemerintah Daerah bersama masyarakat.
“Pihak perusahaan wajib melakukan perlindungan terhadap sumber mata air,” tutup Safri.
Usai rapat, perwakilan PT Central Omega Resources (COR) Tbk Ratnawati Iriani memastikan seluruh alat berat yang berada di kawasan Gunung Tondu dan Tekule sementara waktu ditarik keluar lokasi. Seperti diketahui, PT COR Tbk adalah induk perusahaan dari PT MPR.
“Peralatan sudah ditarik turun. Kami patuh dengan keputusan ini, tidak seperti pada keputusan tahun 2019,” singkat Ratnawati.
Sementara itu para warga yang mengikuti langsung pertemuan ini nampak puas. Mereka mengaku tidak anti pertambangan, asalkan penambangan itu dilakukan sesuai aturan sehingga tidak mengacam lingkungan dan keselamatan masyarakat.(ham)