Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan kekebalan sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain. Sedangkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh virus HIV. (Profil Dinkes Sulawesi Tengah, 2021)
Penanggulangan HIV-AIDS melalui program pengendalian HIV di Indonesia dikenal dengan 3 zero pada tahun 2030, 3 zero ini bertujuan untuk: 1) Menurunkan hingga meniadakan infeksi baru (zero new infection); 2) Menurunkan hingga meniadakan kematian terkait AIDS (zero AIDS related deaths); dan 3) Menurunkan stigma dan diskriminasi (zero discrimination). Strategi untuk mencapai 3 zero tersebut melalui pencapaian target 95-95-95 yaitu, 95% ODHA mengetahui status HIV-nya, 95% ODHA yang tahu status mendapatkan ARV, dan 95% ODHA on ART (ODHA yang sedang menjalani terapi antiretroviral) mengalami supresi viral load. .
Infeksi HIV/AIDS masih menjadi masalah kesehatan global dan nasional, tak terkecuali di Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam pencegahan dan penanganannya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah terus berupaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien penderita HIV/AIDS.
Estimasi jumlah orang dengan HIV (ODHIV) di Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2020 sebanyak 4.702 orang (Hasil Pemodelan Spectrum). Sampai dengan tahun 2022 telah ditemukan kasus HIV positif sebanyak 3.150 orang (66,99%) dan kematian sebanyak 571 orang. (Profil Dinkes Sulawesi Tengah, 2021)
Pada tahun 2021 menurun dari tahun sebelumnya disebabkan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia berdampak pada kurangnya kasus baru yang ditemukan. Pada tahun 2020 angka kasus AIDS cenderung menurun sampai pada tahun 2021 dan kembali melonjak pada tahun 2022 sebanyak 631 kasus baru. Adanya perkembangan jumlah layanan Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP) atau Care Support Treatment (CST) memudahkan ODHIV dalam mengakses pengobatan berdampak pada meningkatnya angka ODHIV on ARV. Adapun jumlah layanan Pengobatan dan dukungan Perawatan (PDP) di Provinsi Sulawesi Tengah adalah 25 layanan, yang tersebar di 13 Kab/kota. Persentase ODHIV baru yang mendapat Pengobatan ARV Kabupaten sudah ada 3 kabupaten yang mencapai 100%, yaitu Poso, Toli-toli dan Parigi Moutong akan tetapi masih ada beberapa kabupaten yang capaiannya di bawah 70%, yaitu Morowali, Buol, Tojo Una Una, Sigi, dan Morowali Utara. (Profil Dinkes Sulawesi Tengah, 2021)
Tes viral load HIV adalah tes yang digunakan untuk mengukur jumlah virus HIV di dalam darah, sedangkan jumlah virus HIV di dalam darah disebut viral load, yang dinyatakan dalam satuan kopi per mililiter (mL) darah. Dengan mengukur HIV RNA di dalam darah dapat secara langsung mengukur besarnya replikasi virus. Untuk melakukan replikasi, virus membutuhkan RNA sebagai “cetakan” atau “blue print” agar dapat menghasilkan virus baru. Tiap virus HIV membawa dua kopi RNA. Ini artinya jika pada hasil tes didapatkan jumlah HIV RNA sebesar 20.000 kopi per mL maka berarti di dalam tiap mililiter darah terdapat 10.000 partikel virus.
Pemeriksaan viral load HIV RNA memiliki peran yang penting dalam perjalanan infeksi HIV dan telah menjadi landasan dalam manajemen penyakit HIV. Pengukuran plasma viral load yang dilakukan pada beberapa bulan setelah fase serokonversi atau disebut juga “baseline” viral load merupakan suatu prediktor yang penting untuk meramalkan perkembangan infeksi HIV menjadi penyakit AIDS. Pemeriksaan viral load juga penting dan bermanfaat dilakukan pada seseorang yang baru saja terpapar HIV atau mengalami infeksi yang masih akut, namun belum terbentuk antibodi. Sehingga dapat segera diketahui apakah seseorang tersebut terinfeksi HIV atau tidak. Tes ini dapat juga dilakukan pada bayi yang baru lahir, yang ibunya diketahui menderita HIV atau AIDS dan wanita hamil yang pernah atau baru saja mengalami paparan terhadap HIV dapat juga melakukan tes viral load HIV sehingga membantu mereka membuat keputusan kapan mereka harus memulai terapi antiretroviral untuk menghindari penularan infeksi HIV pada bayi mereka. Deteksi RNA virus penting juga dilakukan pada penderita dengan infeksi yang masih akut (sebelum terbentuk antibodi) atau pada kasus yang sangat jarang, pada seseorang yang terinfeksi tanpa terbentuk antibodi (antibodi negatif).
HIV RNA dalam plasma dapat diukur melalui beberapa metode atau teknik pemeriksaan, yakni:
(1) Polymerase Chain Reaction (PCR); (2) branchedchain DNA (b-DNA); (3) Nucleic acid sequence-based amplification (NASBA). Ketiga metode tersebut dapat mengukur HIV RNA dalam plasma secara kuantitatif dengan akurat, namun masing-masing metode bekerja dengan cara yang berbeda-beda sehingga menunjukkan hasil yang berbeda untuk pemeriksaan sampel yang sama. Oleh karena itu penting untuk diperhatikan supaya menggunakan satu jenis tes atau metode yang sama pada setiap pemeriksaan viral load agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan dari waktu ke waktu.
Semakin tinggi viral load, maka semakin tinggi kemungkinan menularkan HIV ke orang lain, melalui hubungan seks tanpa kondom, berbagi jarum suntik, atau dari ibu ke bayi selama kehamilan, persalinan, atau menyusui serta pemakaian produk darah yang tertular virus HIV.
Dengan penggunaan obat ARV yang konsisten, viral load dapat dikurangi secara signifikan. Obat ARV bekerja dengan menghambat replikasi virus HIV, sehingga jumlah virus dalam tubuh dapat ditekan. Dalam jangka waktu tertentu dengan penggunaan obat ARV yang tepat, viral load dapat menurun bahkan menjadi tidak terdeteksi.
Memiliki viral load yang tidak terdeteksi tidak berarti seseorang sembuh dari HIV, karena HIV masih dapat bersembunyi di bagian lain dari sistem kekebalan tubuh. ODHIV yang berhenti atau tidak patuh minum obat berisiko mengalami viral load yang terdeteksi. Jika viral load terdeteksi, virus dapat ditularkan ke orang lain melalui cairan tubuh seperti air mani, cairan vagina, darah, dan ASI.
Tanggap darurat AIDS pada ODHIV melibatkan berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi penyebaran HIV dan memberikan perawatan kepada individu yang terinfeksi antara lain:
1. Pencegahan Penularan HIV: Upaya dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS, edukasi mengenai praktik-praktik yang aman, dan promosi penggunaan kondom. Program-program pencegahan juga meliputi tes HIV secara rutin, konseling, dan penggunaan jarum suntik steril.
2. Pengobatan Antiretroviral (ARV): ARV adalah terapi obat yang digunakan untuk menghambat perkembangan virus HIV dalam tubuh. Program tanggap darurat AIDS fokus pada akses dan ketersediaan ARV bagi individu yang terinfeksi HIV.
3. Konseling dan Dukungan Psikososial: Tanggap darurat AIDS juga melibatkan penyediaan konseling dan dukungan psikososial kepada individu yang terinfeksi HIV. Ini termasuk dukungan emosional, informasi tentang manajemen HIV/AIDS, dan bantuan dalam menghadapi stigma dan diskriminasi.
4. Peningkatan Akses ke Perawatan Kesehatan: Upaya dilakukan untuk meningkatkan akses ke perawatan kesehatan yang berkualitas bagi individu dengan HIV/AIDS. Ini mencakup pemeriksaan rutin, pemantauan viral load, perawatan infeksi oportunistik, dan layanan kesehatan reproduksi.
5. Advokasi dan Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Tanggap darurat AIDS juga mencakup upaya advokasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS, mengurangi stigma dan diskriminasi, serta memperjuangkan kebijakan yang mendukung individu yang terinfeksi HIV. Semua upaya ini dilakukan untuk mengurangi penyebaran HIV, meningkatkan kualitas hidup individu dengan HIV/AIDS, dan mencapai keberhasilan pengobatan dalam tanggap darurat AIDS.
Pengobatan yang tepat dapat menghambat perkembangan HIV/AIDS, mencegah penularan dari ibu ke bayi yang dikandung dan dilahirkan, serta mencegah penularan HIV yang semakin meluas. Dukungan keluarga, teman, maupun masyarakat sangat penting bagi mereka untuk tetap bertahan melawan penyakitnya sehingga tetap produktif dalam menjalani kehidupannya. Meskipun memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan, namun penularan HIV tidak semudah penularan penyakit menular lainnya. Maka dari itu marilah kita bersama-sama melawan HIV/AIDS dengan cara yang tepat, yaitu dengan cara menghindari faktor risikonya bukan mengucilkan penderitanya.
*) Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Palu