Oleh : Solahudin
INDONESIA memiliki tujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, yang dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs). Tujuan ini adalah hasil dari kesepakatan global yang berfungsi sebagai panduan bagi pembangunan di berbagai negara, termasuk Indonesia Namun, implementasi SDGs memerlukan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi lokal setiap negara, provinsi, hingga kota. Di sinilah peran kota-kota sedang, dengan populasi antara 100.000 hingga 500.000 jiwa, menjadi krusial. Kota-kota ini menghadapi tantangan besar tetapi juga memiliki peluang strategis untuk menjadi model pembangunan masa depan yang berkelanjutan.
Salah satu kota sedang yang memiliki potensi besar untuk mewujudkan visi pembangunan berkelanjutan adalah Kota Palu, Sulawesi Tengah. Kota ini menyimpan peluang besar untuk menjadi pelopor kota berketahanan di Indonesia. Dengan mengintegrasikan prinsip global yang tertuang dalam SDGs dan pendekatan lokal yang dikenal sebagai localizing SDGs, Palu dapat menghadirkan solusi yang relevan secara lokal sekaligus memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya global menyelesaikan problem krisis iklim.
Dalam poin-poin SDGs, pembangunan perkotaan secara eksplisit tercermin dalam tujuan “Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan” (SDG 11). Pada saat yang sama, perubahan iklim juga menjadi isu utama yang diangkat melalui tujuan “Penanganan Perubahan Iklim” (SDG 13). Kedua hal ini mencerminkan norma global yang dapat dilokalisasi melalui berbagai konsep dan strategi, memberikan arah yang jelas bagi kota seperti Palu untuk mengembangkan pendekatan berkelanjutan yang berbasis konteks lokal namun tetap selaras dengan tujuan global.
Mengapa Kota Berketahanan
Kota Palu berada di kawasan yang rawan terhadap bencana, baik akibat krisis iklim maupun bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, dan likuefaksi. Kota ini menyimpan sejarah penting tentang bagaimana masyarakatnya bangkit dari peristiwa gempa dan tsunami di Teluk Palu. Pengalaman dan praktik dalam membangun kembali kota setelah bencana menjadi pelajaran berharga yang relevan dengan konsep kota berketahanan.
Konsep kota berketahanan mencakup berbagai aspek keberlanjutan, seperti tata ruang yang ramah lingkungan, partisipasi aktif warga, pengelolaan sampah yang efisien, pemanfaatan sumber daya air yang bijak, serta pengembangan permukiman yang adaptif terhadap dampak krisis iklim dan bencana alam. Kota berketahanan tidak hanya berfungsi untuk menghadapi tantangan lingkungan, tetapi juga bertujuan menciptakan kota yang layak huni dan aman bagi seluruh warganya.
Kota berketahanan dibangun di atas lima dimensi utama yang saling terkait ;
1.Dimensi Ekonomi berfokus pada ekonomi berkelanjutan dengan pertumbuhan yang inklusif,. Sehingga semua kelompok masyarakat dapat menikmati hasil pambangunan.
2. Dimensi Sosial Budaya menitikberatkan pada keterlibatan aktif warga dalam pengambilan keputusan penting terkait pembangunan perkotaan. Dalam konteks ini, dimensi ini memiliki tujuan untuk memperkuat nilai-nilai budaya lokal yang menjadi identitas dan kekayaan kota.
3. Dimensi Lingkungan mencakup upaya transisi energi berkeadilan, pengurangan emisi karbon, serta pelestarian ekosistem guna menjaga keseimbangan lingkungan hidup di tengah tantangan perubahan iklim.
4. Dimensi Fisik menggarisbawahi pentingnya pengembangan infrastruktur yang adaptif, tangguh terhadap ancaman bencana, serta perencanaan kota yang inklusif dan ramah bagi semua penghuninya.
5. Dimensi Kelembagaan memastikan bahwa tata kelola kota dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel, dengan menempatkan keberlanjutan sebagai prinsip penting dalam setiap kebijakan yang diambil.
Kelima dimensi ini bekerja secara sinergis untuk menciptakan kota yang tidak hanya bertahan menghadapi tantangan masa kini, tetapi juga berkembang menuju masa depan yang lebih baik.
Jika mengacu pada praktik baik yang dilakukan di kota Palu, setidaknya ada 3 point penting yang bisa diusulkan sebagai strategi :
Memperkuat Partisipasi Warga
Masyarakat adalah subjek penting dalam proses pembangunan. Keterlibatan mereka menjadi kunci keberhasilan sebuah kota dalam mencapai keberlanjutan. Salah satu contoh praktik baik partisipasi masyarakat dapat dilihat dari pembangunan kembali kawasan Kampung Mamboro Ikan, yang sempat hancur akibat gempa dan tsunami.
Warga setempat tidak hanya menjadi pendengar pasif saat sosialisasi, tetapi juga aktif terlibat mulai dari proses identifikasi masalah, perencanaan bersama, pelaksanaan pembangunan, hingga pengelolaan pasca hunian. Dengan semboyan Mosinggani Mambangu Ngata (bersama membangun kampung), partisipasi menjadi hidup, mendorong seluruh warga untuk memiliki kepedulian dan semangat membangun kampung mereka.
Keterlibatan warga menjadi kunci utama dalam keberhasilan pembangunan. Atas dasar inilah, Kampung Mamboro Ikan meraih penghargaan dari World Habitat atas prakarsa membangun kampung yang mengedepankan partisipasi aktif warga dan melibatkan berbagai pihak secara kolaboratif.
Perencanaan Melibatkan semua Pihak
Kota Palu telah menunjukkan praktik baik dalam melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk merumuskan masa depannya. Di banyak kota sedang seperti Palu, isu krisis iklim sering kali belum menjadi bagian dari diskusi kebijakan yang serius. Namun, Kota Palu telah memulainya. Salah satu contohnya adalah kerja sama antara NGO, warga, dan pemerintah dalam merancang Kampung Mamboro Ikan sebagai kampung adaptif terhadap iklim. Komunikasi yang intensif di antara ketiga aktor tersebut menjadi kunci keberhasilan dalam melibatkan berbagai pihak untuk pembangunan kota yang lebih inklusif dan tangguh.
Membangun Ekosistem Kota
Pembangunan kota tidak hanya menjadi tanggung jawab negara semata, melainkan juga melibatkan berbagai pihak lainnya. Hal ini menegaskan pentingnya membangun ekosistem kota yang kuat, yang dapat dimaknai sebagai jejaring antara para pemangku kepentingan yang saling melengkapi dan berbagi manfaat bersama. Sebagai contoh, pemerintah yang memiliki keterbatasan dalam mengoptimalkan partisipasi warga dapat bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk mendorong keterlibatan aktif. Sebaliknya, masyarakat sipil yang memiliki keterbatasan sumber daya dapat memanfaatkan peran pemerintah untuk memfasilitasi kebutuhan mereka.
Berdasarkan praktik-praktik tersebut, dapat disimpulkan bahwa SDGs sebagai norma global perlu disesuaikan dengan pengalaman dan praktik terbaik yang telah diterapkan di tingkat kota.. Kita tidak serta-merta meniru implementasi kesepakatan global, melainkan dapat mengembangkan atau bahkan mengusulkan perspektif lokal ke dalam wacana global. Dengan cara ini, Kota Palu berpotensi menjadi model inspiratif dalam mengintegrasikan prinsip global dengan pendekatan lokal. (**)
*)Penulis adalah Kepala Departemen Knowledge Management Arkom Indonesia, Magister Politik dan Pemerintahan UGM