01 July 2024
25.4 C
Palu

Praktik Patologi dan Trend Positif Lembaga Penyelenggara Pemilu

Must read

Oleh : Fery, S.Sos., M.Si *)

PRODUK kebijakan di sektor elektoral diharapkan menjadi kunci dalam melahirkan aparat negara yang memiliki integritas, baik di Tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Pemilu melalui UU Nomor 7/2017 menghasilkan anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian Pemilihan (Pilkada) melalui UU Nomor 10/2016 yang telah diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2020 akan menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota.
Maka itulah, kebijakan publik di sektor elektoral itu harus berpihak pada rakyat secara umum. Salah satu yang diatur dalam UU Pemilu adalah proses rekrutmen penyelenggara Pemilu. Namun proses ini cenderung menuai polemik, termasuk saat proses awalnya ketika membentuk tim seleksi.

Hasil seleksi yang cenderung bermasalah di awal, akhirnya terjawab saat banyak kasus terjadi di tubuh penyelengara Pemilu. Contoh kasus paling heboh adalah munculnya OTT dugaan pemerasan Peserta Pemilu, yang melibatkan penyelenggara Pemilu yang baru saja menjabat dalam hitungan bulan. Pada 14 November 2023 di Hotel JW Marriot Medan, anggota Bawaslu Medan terkena OTT. Selang dua bulan kemudian, anggota KPU Padangsidimpuan juga terkena OTT pada 27 Januari 2024 (detik.com). Dua kasus OTT di Sumatera Utara tersebut, membuat publik tercengang.

Hal lainnya adalah data di DKPP, kurun waktu Januari hingga April 2024, seperti dilansir detik.com, bahwa sebanyak 233 pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode etik pada tahapan Pemilu 2024 diterima oleh DKPP. Pengaduan paling banyak berasal dari Sumatera, maka tidak heran, DKPP berencana akan membuat kantor perwakilan di daerah itu.
Berbagai kasus ini, membuktikan penyelenggara Pemilu, masih kurang profesional dan tidak berintegritas dalam melakukan tugas-tugas kepemiluan. Sehingga publik bertanya, adakah yang salah dalam proses rekrutmen penyelenggara Pemilu. Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia (dpr.go.id, 2023) sempat mempertanyakan, apakah proses rekrutmen penyelenggara Pemilu kurang ketat atau ada pembiaran hal-hal yang kurang profesional menjadi kebiasaan.

Pertanyaan itu, seolah dijawab oleh Eks Hakim Konstitusi, Aswanto (Dalam Mantalean, 2024) menyebutkan bahwa seseorang mesti memiliki dukungan partai politik untuk dapat ditetapkan menjadi anggota lembaga penyelenggara Pemilu. Hal itu disampaikan Aswanto selaku ahli dalam sidang lanjutan sengketa Pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Senin 27 Mei 2024 lalu, sebagaimana dilansir kompas.com. Aswanto menyebutkan bahwa jangan pernah mimpi untuk lulus jadi penyelenggara Pemilu kalau tidak di-backup oleh partai politik.

Peran partai politik yang cukup dominan dalam menentukan penyelenggara Pemilu adalah sebuah bentuk praktik patologi administrasi publik yang dapat merusak sistem. Penyelenggara Pemilu yang mestinya independen dan bersikap Netral dalam penyelenggaraan Pemilu yang pesertanya adalah partai politik, ternyata tidak sepenuhnya bisa berjalan baik, karena terpilihnya penyelenggara Pemilu patut diduga karena adanya back-up dari partai politik. Ibarat Istilah jeruk makan jeruk, sehingga Praktik Patologi ini tentu akan merusak sendi-sendi dalam berdemokrasi.

Namun demikian, dalam survey Kompas, diutarakan oleh Nikolaus Harbowo dari Harian Kompas saat menjadi salah seorang Narasumber pada giat Kegiatan konsolidasi Media oleh Bawaslu, pada 20 Juni 2024 di Palu, menyebutkan bahwa citra penyelenggara Pemilu cukup baik hingga mencapai 70 persen pada Agustus 2023. Hal ini membuktikan bahwa lembaga penyelenggara Pemilu telah bekerja dan menjalankan tugas dengan baik. Namun citra baik itu, belum dapat dipastikan Niko, akan menurun atau masih akan terus menanjak.

Dalam rilis Kompas pada Juni 2024, ternyata citra dan integritas penyelengara Pemilu di mata publik mengalami trend kenaikan secara positif hingga 73 persen (Yohan Wahyu,2024). Citra baik lembaga penyelenggara Pemilu ini, diharapkan dapat dijadikan modal untuk terus memupuk optimisme masyarakat akan hadirnya Pemilihan (Pilkada) 2024 yang berkualitas.

Citra positif penyelengara Pemilu itu, memantik reaksi dari sejumlah peserta yang hadir dalam giat konsolidasi Media yang digelar oleh Bawaslu pada 20 Juni 2024, salah satunya datang dari Ketua AJI Palu, Yardin Hasan. Dia menyebut bahwa fakta pelanggaran kode etik oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari, yang telah mendapatkan sanksi berkali-kali dari DKPP, mestinya membuat Trust Public menurun terhadap lembaga penyelenggara Pemilu.

Adanya pelanggaran etik berdasarkan putusan DKPP ini, menjadi bukti kuat bahwa masih kurangnya integritas di tubuh penyelenggara Pemilu. Praktik patologilah yang membuat munculnya pelanggaran kode etik ini. Sebagaimana dilansir joglosemarnews.com, terdapat sejumlah pelanggaran etik yang telah disanksi oleh DKPP dengan melibatkan Ketua KPU yaitu, Pertama, bertemu peserta Pemilu. Dalam kasus ini, Ketua KPU terbukti melakukan perjalanan pribadi dari Jakarta ke Yogyakarta pada 18 Agustus 2022 bersama Ketua Umum DPP Partai Republik Satu. Sehingga Ketua KPU pun dijatuhkan sanksi oleh DKPP berupa peringatan keras terakhir pada Senin, 3 April 2023.

Kedua, salah hitung kuota minimal 30 persen Perempuan. dilansir dari Koran Tempo edisi 6 Februari 2024, Ketua KPU dinyatakan melanggar kode etik sehubungan dengan Pasal 8 ayat 2 PKPU nomor 10 Tahun 2023 mengenai pembulatan ke bawah dari 30 persen pencalonan perempuan dalam Pemilu DPR/DPRD. Kasus ini disebut-sebut akibat kesalahan KPU dalam menghitung kuota minimal 30 persen perempuan calon anggota DPR/DPRD. Sebelumnya, melalui putusan Mahkamah Agung, ketentuan kuota perempuan dinilai melanggar UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ketua KPU pun dijatuhi sanksi peringatan keras pada Rabu 10 Oktober 2023.

Ketiga, terima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wapres. Ketua dan Anggota KPU diadukan ke DKPP karena menerima pencalonan itu, pada 25 Oktober 2023. DKPP pun menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU pada 5 Februari 2024.

Keempat, kasus rekrutmen calon anggota KPU Kabupaten Nias Utara periode 2023-2028. Pengadu kasus tersebut bernama Linda Hepy Kharisda Gea. Linda merupakan calon anggota KPU Kabupaten Nias Utara terpilih periode 2023-2028. Linda mengadukan Ketua KPU ke DKPP karena mengganti dirinya secara mendadak, sehingga gagal dilantik sebagai anggota KPU Kabupaten Nias Utara terpilih periode 2023-2028. Sebelumnya, nama Linda telah tercantum dalam pengumuman calon anggota KPU terpilih kabupaten dan kota yang dikeluarkan oleh KPU RI. DKPP Menjatuhkan sanksi peringatan kepada Ketua KPU, pada Rabu 28 Februari 2024.

Meskipun sanksi kode etik tertubi-tubi dilayangkan, tetapi persepsi public terhadap citra penyelenggara Pemilu malah terus mengalami trend positif. Maka itulah, hal ini penting untuk dijaga. Perlu adanya kesadaran para penyelenggara Pemilu untuk meningkatkan kerja-kerja profesional dan menjaga integritas diri.

*) Penulis adalah Wakil Ketua PWI Sulteng/Dosen FISIP Unismuh Palu.

Latest article

More articles

WeCreativez WhatsApp Support
Silahkan hubungi kami disini kami akan melayani anda 24 Jam!!