PALU-Dalam rilisnya Komnas HAM Perwakilan Sulteng, menyebutkan BRMS melalui anak usahanya PT. Citra Palu Minerals (PT.CPM) harus Menghentikan Praktek buruk yang merendahkan harkat dan martabat warga Poboya dan Masyarakat lingkar tambang dalam pengelolahan Pertambangan emas di Blok 1 Poboya.
Bumi Resouces Minerals Tbk (BRMS) melalui anak usahanya PT. Citra Palu Minerals (PT.CPM) harus hetikan aktifitas produksi (pengambilan material melalui Pengerukan dan Blasting dilahan-lahan warga yang belum mendapat kompensasi atau ganti rugi dari BRMS melalui anak usahanya PT. CPM di Blok 1 Poboya, termasuk dilahan dan/atau tanah milik Agus Alajiman.
“Kehadiran BRMS melalui anak usahanya PT. CPM mestinya memiliki peran penting dalam mendorong peningkatan taraf ekonomi warga, bahkan sedapat mungkin membantu melakukan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat atau masyarakat yang berada dilingkar tambang Blok 1 Poboya, “ tegas Kepala Perwkilan Komnas HAM Sulteng kepada media ini, Rabu (09/10/2024).
Menurutnya, BRMS melalui anak usahanya selaku pemegang konsesi dan pemilik Izin Produksi tidak dengan serta-merta sekehendak hati dapat melakukan penyerobotan lahan, pengerukan dan blasing di lahan-lahan warga yang belum menerima kompensasi atau ganti rugi atas lahan mereka sebagai alat atau aset produksi untuk menopang penghidupan mereka.
Dijelaskannya, dalam konteks pelepasan tanah sebagai aset produksi warga setempat atau warga-warga yang berada di kawasan lingkar tambang untuk kepentingan pembangunan industeri atau pabrik serta pengerukan material emas serta proses produksi lainnya, yang dilakukan oleh pihak swasta dalam hal ini BRMS melalui anak usahanya PT. CPM,pembebasan lahan atau pelepasan hak-hak masyarakat yang masuk didalam konsesi pertambangan, dilakukan melalui mekanisme jual-beli, tukar-menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak semisal ganti-rugi, tidak melakukan pelepasan hak atau pembebasan lahan masyarakat melalui Pemberian Dana Kerohiman dari BRMS melalui anak usahanya PT. CPM yang cenderung “dipaksakan.”
Penyiapan dan/atau pembebasan atau pelepasan hak kepemilikan lahan warga dengan pemberian Dana kerohiman ala BRMS melalui anak usahanya PT. CPM adalah praktek “pembodohan” yang dipertontonkan secara terbuka, mengingat skema pemberian dana kerohiman sebagaimana yang dilakukan oleh BRMS melalui anak usahanya PT. CPM utamanya yang dilakukan oleh para manajemen PT. CPM yang ada di Kantor Palu, adalah pola penanganan dampak sosial kemasyarakatan atas tanah yang di identifikasi sebagai tanah musnah dalam rangka pwmbangunan untuk kepentingan umum.
“Masyarakat Poboya selaku pemilik hak atas tanah atau lahan dengan segala yang ada diatasnya, bukanlah korban dampak sosial kemasyarakatan atas tanah yang di idwntifikasi sebagai tanah musnah dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum, pembebasan tanah bahkan hingga pencabutan hak atas tanah milik seseorang yang tidak diiringi kompensasi ganti rugi yang layang atau tidak melalui jual-beli, hanya karena dalil bahwa Industeri atau pembangunan industri pemurnian emas di Poboya adalah pembangunan yang dilakukan oleh swasta untuk kepentingan umum, adalah penyesatan, mengingat pembangunan pertambangan emas oleh BRMS melalui anak usahanya PT. CPM mulai dari hulu hingga hilir, bukanlah untuk kepentingan unum, mengingat dalam menjalankan usahanya untuk mencari keuntungan, “ tegasnya.
Disebutkan Dedi, BRMS melalui anak usahanya PT. CPM dalam mengeruk material emas di Blok Poboya harus melakukan aktifitasnya, apalagi yang memiliki keterkaitan langsung dengan hak-hak masyarakat setempat utamanya hak-hak atas tanah atau lahan milik masyarakat yang kepemilikan dan penguasaannya secara turun-temurun Jauh sebelum BRMS selaku pemegang konsesi, bahkan jauh sebelum PT. CPM selaku anak usaha BRMS didirikan dan hadir di Tanah Poboya, bahkan penguasaan tanah atau lahan oleh masyarakat setempat Jauh Sebelum Tahura di Tetapkan, tata kelolahnya harus mengedepan keadilan bagi masyarakat pemilik hak dengan tidak sama sekali mengabaikan hak-hak fundamental yang melekat pada masyarakat poboya selaku pemilik lahan.
BRMS melalui anak usahanya PT. CPM dalam melakukan aktifitasnya, harus mehinghindari praktek-praktek buruk pembebasan lahan atau ganti rugi atas tanah-tanah atau lahan milik masyarakat yang masuk dalam konsesi pertambangan milik BRMS melalui anak usahanya PT.CPM, untuk dan demi pencapaian hasil yang maksimal berdasarkan target yang ditetapkan, mengabaikan nilai-nilai keadilan dan hak-hak fundamental yang dimiliki masyarakat.
Menurutnya, BRMS melalui anak usahanya PT. CPM dalam pengelolahan lahan dan Potensi Sumber Daya Mineral di Blok Poboyo, tidak boleh hadir sebagai penindas dan menyerobot serta merampas tanah atau lahan-lahan milik masyarakat yang didapatkan serta dikuasai secara turun temurun, baik orang-perorang maupun secara kolektif dalam skema tanah adat atau tanah ulayat jauh sebelum konsesi pertambangan emas Blok Poboya milik BRMS diterbitkan.
Dedi juga menjelaskan, dalam banyak peristiwa, BRMS melalui anak usahanya, PT. CPM di Blok poboya melakukan praktek-praktek penyerobotan dan/atau pengerukan material dilahan-lahan milik masyarakat yang belum dilakukan pelepasan hak atau pembebasan dan/atau ganti rugi oleh BRMS melalui anak usahanya PT.CPM, dan karenanya dihentikan atau dilarang oleh masyarakat pemilik lahan, senantiasa dan selalu Mengkriminalisasi warga dengan cara melaporkan warga ke Pihak kepolisian dengan dalil mengalangi aktifitas perusahaan.
Dipaparkan Dedi, bahwa benar dalam undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan itu, kalau ada masyarakat yang merintangi jalan tambang, maka harus ditindak secara pidana, namun harus di ingat utamaya para pelaku keiminalisasi dan Aparat Penegak Hukum (APH) terutam dari kepolisian, bahwa di pasal 68 mengatakan bahwa ada permasalahan tanah harus diselesaikan dulu, ingat, harus diselesaikan dulu, Jadi bukan berarti orang itu merintangi jalan tambang atau meminta penghetian pengerukan dan pengambilan material (dilakukan) secara sengaja, tanpa sebab, itu tidak mungkin.
Dia melihat, Pasal 68 ayat 4 Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan ’setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Itu pertanda bahwa perusahaan wajib menyelesaikan ganti rugi tanah kepada masyarakat, bukan pemberian dana kerohiman.
Eksistensi masyarakat Poboya, itu diakui pemerintah karenanya di Poboya di bentuk satu Kelurahan, namanya Kelurahan Poboya, dalam hubungan kepemilikan dan pwnguasaan tanah, mereka memiliki bukti hak kelola berupa tanam tumbuh, ladang, mereka punya wilayah kelolah, situs-situs pekuburan tua, yang membuktikan bahwa ada kwhidupan di wilayah tersebut dari semnjak dahulu, jauh sebelum “para penindas gaya baru ini datang”.
“Karenanya, ganti rugi juga biaya pengelolaan. Bukan hanya tanam tumbuh. Kalau misalnya bikin ladang, perusahaan harus ganti rugi biayanya. Bahkan lebih dari itu perusahaan harus memberikan kompensasi, komuniti development, CSR, itu kan kewajiban perusahaan kepada masyarakat sekitar,” pungkas Dedy Askari.(mch)